Efisiensi Produksi Minyak Kelapa Sawit Solusi Ancaman Resesi
SURABAYA_WARTAINDONESIA.co – Menurunnya perekonomian disebabkan adanya krisis energi. Salah satunya, ditandai dengan kenaikan harga minyak mentah dunia dan minimalnya jumlah ekspor Indonesia.
Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar Universitas Airlangga (Unair), Prof Dra Ec Dyah Wulansari MEc Dev Ph.D saat pengukuhan Guru Besar pada Rabu, (28/12/22) di Unair Kampus C.
Prof Dyah menyampaikan bahwa, tingginya harga minyak mentah dan gas di pasar internasional menghambat laju pemulihan ekonomi secara global. Sehingga, krisis energi membuka peluang industri minyak kelapa sawit untuk menembus pasar minyak dunia.
“Dimana, minyak kelapa sawit merupakan bahan dasar pembuatan biodiesel dan merupakan energi yang ramah lingkungan,” ujar Prof Dyah.
Menurut Prof Dyah, kebutuhan pasar yang besar terhadap minyak kelapa sawit memberikan peluang dan tantangan kepada Indonesia untuk terus meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan pasar internasional. Meski menduduki jumlah ekspor tertinggi sebesar 60,85 persen, tren harga minyak kelapa sawit Indonesia masih rendah dibandingkan dengan Malaysia.
“Sehingga, diperkirakan permintaan minyak kelapa sawit di Indonesia akan meningkat dengan tantangan pembukaan areal hutan,” terangnya.
Jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan terlantar berupa semak belukar dan lahan kritis baru. Akibat perluasan lahan perkebunan sawit ini, bisa dipastikan Indonesia mendapat ancaman hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis.
Untuk meningkatkan produksi minyak tanpa mengancam kekayaan alam Indonesia, upaya efisiensi dapat dimulai dengan perhitungan penggunaan lahan menggunakan metode Stochastic Frontier Analysis (SFA). Selain itu, efisiensi produksi dan efisiensi skala juga dapat diukur menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA).
“Rata-rata skor efisiensi penggunaan lahan di setiap provinsi di Indonesia relatif sama. Jumlah usaha yang dapat perkebunan yang dapat memanfaatkan lahannya secara optimal baru 0,31 persen dan sisanya 99,69 persen belum dikelola,” tandasnya.
Hasil perhitungan metode DEA, menunjukkan perusahan minyak kelapa sawit dari hasil tandan buah segar, CPO (Minyak Sawit Mentah) senilai 4,8 persen, dan PKO (Minyak Inti Sawit, red.) 26,83 persen dinilai belum optimal. Produksi Indonesia sendiri dalam kurun waktu produktif hanya mampu memproduksi 9-15 ton TBS/hektar.
“Upaya yang bisa kita lakukan untuk meningkatan produksi minyak kelapa sawit dapat dilakukan dengan mengunakan faktor input yang lebih efisien, mengoptimalisasikan skala produksi melalui peningkatan keterampilan dan kualitas pekerja serta dukungan kemajuan teknologi melalui pengembangan R&D,” pungkas Prof Dyah. (*)
- Pewarta : Tulus W
- Foto : Istimewa
- Penerbit : Dwito