
Monolog Edukatif Menjadi Sarana Literasi Bagi Anak Muda
JAKARTA_WARTAINDONESIA.co – Tingkatkan literasi dan edukasi terkait sejarah bangsa, Direktorat Perfilman, Musik dan Media, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) kembali hadirkan Monolog Edukatif.
Bekerja sama dengan Titimangsa dan KawanKawan Media, Kemendikbudristek menggelar pertunjukan “Di Tepi Sejarah” untuk musim ketiga di Teater Salihara.
Di Tepi Sejarah merupakan sebuah seri monolog yang menceritakan tentang tokoh-tokoh yang ada di tepian sejarah. Mereka mungkin kurang disadari kehadirannya dan tersisih dalam catatan besar sejarah bangsa, namun tetap menjadi bagian dalam peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Indonesia.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media, Kemendikbudristek, Ahmad Mahendra, menyambut baik hadirnya seri terbaru monolog Di Tepi Sejarah. Dirinya menuturkan bahwa banyak kisah sejarah inspiratif yang sebelumnya kurang dikenal terutama oleh anak-anak muda.
“Entah karena kurangnya akses ke sumber literasi atau bahkan kurangnya minat untuk mempelajari sejarah tersebut. Namun dengan adanya monolog Di Tepi Sejarah ini, anak-anak muda dapat kembali mempelajari sejarah yang hampir terlupakan tersebut, dan bahkan dapat menjadi bagian dari edukasi,” kata Mahendra Selasa, (12/12/23).
Ditemui secara terpisah, Happy Salma selaku pendiri Titimangsa dan produser pementasan pun melihat antusias dari para guru, pelajar, serta masyarakat umum yang menonton pertunjukan Di Tepi Sejarah hingga merasa perlu untuk meneruskan serial monolog ini yang bahkan sekarang sudah sampai memasuki musim ketiganya.
“Di Tepi Sejarah merupakan ruang kolaborasi bagi segala macam disiplin ilmu dalam menghadirkan sebuah karya seni pertunjukan,” terang Salma.
Tokoh-tokoh yang dihadirkan tidak hanya merupakan para tokoh yang berada Di Tepian Sejarah, namun juga punya relevansi bagi peradaban bangsa. Menurut Salam, ini menarik karena bisa melihat tokoh yang diangkat melalui sudut pandang orang-orang terdekatnya seolah ada lapisan-lapisan perasaan atau peristiwa lain yang dialami para tokoh.
“Karya-karya yang dihadirkan tak lepas dari hasil riset, sebab ini merupakan karya interpretasi, yang nantinya dapat disaksikan oleh khalayak yang lebih luas,”tegasnya.
Di sisi lain, Produser Di Tepi Sejarah dari KawanKawan Media, Yulia Evina Bhara, menambahkan, penayangan program Di Tepi Sejarah di Indonesiana TV diharapkan menjadi jembatan pertemuan antara tokoh-tokoh sejarah dengan penonton yang lebih luas, khususnya kaum muda.
Awalnya penayangan secara daring adalah upaya untuk menjangkau penonton yang lebih luas di masa pandemi ketika program Di Tepi Sejarah di inisiasi, namun ternyata animo dari masyarakat yang terlihat dari maraknya resensi yang dibuat oleh pelajar, mahasiswa, dan guru membuat kami melihat bahwa selain untuk hiburan.
Serial monolog Di Tepi Sejarah musim ketiga yang dilaksanakan di Teater Salihara dimulai dengan pementasan bertajuk Suamiku Oto dan Bel Pintu. Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) tidak hanya merupakan sejarah penting bagi perjalanan Indonesia sebagai sebuah negara.
Masa empat tahun yang penuh ketegangan itu juga telah mengubah arah perjalanan hidup banyak orang. Banyak orang hilang dan lebih banyak lagi mereka yang kehilangan orang yang dicintai. Terlebih lagi ketika kehilangan itu tak menyediakan jawaban selain penculikan dan desas-desus. Ketika jawabannya adalah kematian, istri, anak, dan keluarga tidak mendapati jasad dan kuburnya. Revolusi memang selalu tak pernah utuh memberi jawaban.
Nia Dinata selaku sutradara dan penulis naskah dalam pertunjukan ini menyatakan, menghadirkan kisah Oto Iskandar Dinata melalui sudut pandang istrinya, RA. Soekirah, relevan. Karena, sosok yang dikenal sejak kecil adalah beliau yang kerap bercerita tentang suaminya, Oto. (*)
- Pewarta : Angga DKI
- Foto : Istimewa
- Penerbit : Dwito