Pakar ITS : Menciutnya Kawasan Hutan Lindung Penyebab Bencana Banjir Bandang
SURABAYA_WARTAINDONESIA.co – Bencana alam yang banyak terjadi di Indonesia di awal tahun 2020 salah satunya banjir menjadi sorotan peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dr Ir Amien Widodo MSi.
Setelah Kalimantan Selatan, kawasan Puncak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor juga diterjang banjir bandang, 19 Januari lalu.
Menurut Dr Ir Amien, bencana banjir bandang terjadi karena kawasan pegunungan saat ini sudah beralih fungsi secara masif, sistemik, dan terstruktur. Sehingga, kawasan hutan lindung dan daerah resapan air sekarang semakin menciut.
“Apabila gunung berhutan lebat, maka air hujan semusim akan terserap ke dalam tanah dengan kuantitas sebanyak lebih dari 80 persen. Air serapan itu yang menjadi sumber air bersih, setelah melalui filter alami di dalam tanah dan dikeluarkan melalui mata air,” ucap Dr. Amien, Senin, (01/02/21).
Mata air yang disinggungnya, lanjut dosen Departemen Teknik Geofisika ITS, selain dapat dimanfaatkan sebagai sumber air minum juga memiliki peran penting dalam proses suplai air sungai yang terletak di sekeliling gunung. Kebermanfaatan hutan asli di pegunungan, sangat mempengaruhi tata iklim, tata air, dan tata angin.
“Tetumbuhan inilah yang kemudian menjaga stabilitas tanah dengan sistem perakarannya. Tanpa bantuan akar serabut yang menahan struktur tanah, dan tanpa akar tunjang yang menjadi angker (paku) di dalam tanah, banjir yang mungkin semula kecil dapat berubah menjadi bencana banjir bandang,” terangnya.
Seperti banjir yang menerjang Bogor beberapa waktu lalu, yang menyebabkan 900 warga Bogor diungsikan itu bukan sekadar banjir air, melainkan banjir yang diikuti lumpur dan ranting-ranting pohon. Akibat tidak adanya sistem perakaran yang menahan tanah, tanah di daerah lereng pun tererosi.
Apabila air mengalir ke arah sungai, sedangkan tanah dalam kondisi mudah tererosi, maka sungai akan mengalami pendangkalan. Akibatnya, lumpur dari dasaran sungai lama-kelamaan akan ikut mengalir bersama air dan lapisan yang tererosi lainnya.
Peralihan fungsi hutan asli di pegunungan, yang semula hutan kini merupakan kawasan wisata dengan sejumlah hotel, permukiman, dan perkebunan. Hal itu disebutkannya untuk mewakili beberapa tindakan manusia yang bisa menjadikan tanah gunung terancam tidak terlindungi serta menjadikannya tidak stabil.
“Oleh sebab itu, peran pemerintah sangat dibutuhkan sebagai upaya pengembalian fungsi kawasan puncak gunung,” tandasnya.
Dr. Amien berharap, agar pemerintah di daerah rawan bencana, khususnya bencana banjir dan longsor, dapat mempertegas aturan terkait penggunaan lahan di daerah yang semestinya merupakan bagian dari hutan asli. Karena, selama bagian puncak gunung tidak berhutan alias gundul, banjir pasti akan datang di kemudian hari. (*)
- Pewarta : Tulus W
- Foto : Istimewa
- Penerbit : Dwito