
Industri Property Indonesia Bisa Tumbuh Apabila Mengikuti Langkah Perbankan Australia
JAKARTA_WARTAINDONESIA.co – Industri property yang ada di Indonesia bisa tumbuh baik seperti property di Australia. Apabila, perbankan Indonesia mengikuti langkah perbankan Australia yang menurunkan suku bunga hingga dua kali pada tahun 2020 kemarin untuk memberikan stimulus pada pasar properti.
Hal ini disampaikan oleh Manajer Penjualan Crown Group Indonesia, Reiza Arief, melalui rilis resminya Senin, 15 Maret 2021 di Jakarta.
Reiza Arief selaku Manajer Penjualan Crown Group Indonesia menjelaskan bahwa setiap orang yang ingin memiliki properti kedua di Australia bisa mengajukan refinancing dari kredit kepemilikan apartemen pertamanya.
“Sedangkan, perbedaan sistem perbankan antara Australia dan Indonesia adalah di Australia memungkinkan para nasabahnya untuk melakukan refinancing atas KPA unit pertamanya meskipun cicilan belum selesai,” kata Reiza, Senin, (15/03/21).
“Biasanya ini dilakukan konsumen Ketika KPA mereka sudah berjalan 5 tahun dengan asumsi sudah terjadi kenaikan nilai unit pertama hingga 50%. Dan perbankan di Australia bisa memberikan pinjaman KPA kedua kepada konsumen hingga 80% dari harga unit yang ditawarkan,” imbuhnya.
Sedangkan, lanjut Reiza, rata-rata tingkat kekosongan unit di Australia adalah 1,9%. Artinya, sangat sedikit unit apartemen yang tidak disewa/ditempati, meski terjadi lonjakan untuk Sydney dan Melbourne akibat pandemi Covid-19 dan diperkirakan akan kembali ke tingkat normal.
“Perbankan di Australia bisa memberikan pinjaman kedua mengingat nasabah akan membayar cicilan KPA dari pendapatan sewa,” terangnya.
Kondisi ini memang agak berbeda dengan Indonesia. Dimana, rata-rata tingkat kekosongan unit apartemen mencapai 40% – 50%, sementara bunga KPA terutama untuk refinancing lebih tinggi di kisaran 5% (Fixed rate) hingga 10% (Float rate).
Menurut Reiza, mengapa tingkat kekosongan unit apartemen di Australia bisa begitu rendah karena pemerintah Australia betul betul menjaga titik ekulibrium antara pasokan dengan permintaan. Pemerintah Australia menjaga ketat pasokan dan kebutuhan akan properti melalui beberapa mekanisme regulasi seperti izin membangun yang ketat, pembatasan zona pembangunan dan regulasi perbankan.
Pihak pengembang pun juga harus memiliki pondasi keuangan internal yang sehat karena pihak perbankan hanya akan memberikan pinjaman untuk pembangunan proyek hunian sebesar 50% dari nilai proyek,” tandasnya.
Oleh karena itu, Crown Group selaku pengembang tidak bisa seenaknya memberikan harga untuk konsumen. Semua ini dimungkinkan karena hampir 90% warga Australia membeli unit apartemen dengan menggunakan kredit perbankan. Inilah salah satu sebab mengapa banyak pembeli asing menjadikan Australia sebagai tujuan utama untuk investasi property.
“Belum lagi status kepemilikan yang bersifat free hold atau SHM atas unit apartemen yang diberikan oleh pemerintah Australia kepada setiap pemilik unit apartemen meskipun mereka adalah orang asing,” ungkap Reiza.
Ditambah cara pembayaran yang sangat ringan jika dibandingkan di Indonesia. Dimana para calon pembeli hanya diwajibkan membayar 10% dari nilai properti yang diinginkan. Itupun tidak ditransfer atau dibayarkan kepada pihak property, melainkan ke pihak ketiga atau Trust Account. Karena, dilarang keras untuk menerima uang konsumen apabila proyek hunian belum selesai dibangun.
Sementara, sisanya akan dibayarkan ketika hunian sudah selesai dibangun. Pembeli baru mulai membayar cicilan KPA setelah unit di serah terimakan. Sedikit berbeda dengan kondisi di Indonesia dimana cicilan sudah dimulai bahkan sebelum properti selesai dibangun. (*)
- Pewarta : Angga/Tulus
- Foto : Istimewa
- Penerbit : Dwito